Minggu, 14 Maret 2010

Cium Sayang yang Tinggal Kenangan

Diposting oleh Viva Palestina Indonesia, 1 March, 2010

Kenangan akan dua putranya kecilnya yang dibunuh Israel masih terekam kuat dalam ingatan seorang ibu

Nejoud Al-Ashqar adalah seorang ibu berusia 30 tahun. Ia tinggal di kota Beit Lahiya, sebelah utara wilayah Jalur Gaza. Dua orang putranya, Bilal, 5, dan Mohammad, 6, terbunuh dalam serangan Israel ke Jalur Gaza Januari tahun lalu. Tidak hanya itu, Al-Ashqar juga kehilangan lengan kanannya.

Dikelilingi oleh para tetangga, putra bungsu dan putrinya, ia mencoba mengenang peristiwa memilukan itu. “Saya ingat, pesawat-pesawat tempur Israel menyebarkan selebaran di daerah kami, memerintahkan para penduduk untuk pergi menjauh. Saya sangat khawatir akan anak-anak. Kami kemudian meninggalkan rumah menuju sekolah UNRWA (Badan PBB untuk pengungsi Palestina) untuk mengungsi,” cerita Al-Ashqar.

“Kami menginap di sekolah sepanjang malam awal bulan Januari, di tengah-tengah pemboman oleh Israel. Rasa takut yang amat sangat menyusup ke dalam hati kami. Saya hanya memikirkan bagaimana caranya melindungi anak-anak, karena banyak puing-puing tajam beterbangan di sekitar kami. Saya berusaha menutupi wajah mereka dengan selimut, takut kalau-kalau serpihan tajam melukai mereka.”

Sekolah UNWRA tempat keluarga Al-Ashqar berlindung, pagi esok harinya dibom Israel. “Saya mendengar orang-orang yang berada di dekat saya berteriak ‘Ambulan, ambulan!’ Saya lantas tersadar bahwa wajah saya berlumuran darah. Saya mulai berteriak memanggil nama anak-anak saya.”

Kepala dan lengan Al-Ashqar terluka parah akibat serangan yang dilakukan Israel. Ia segera dilarikan ke rumah sakit di Gaza. Namun karena kondisinya parah, Al-Ashqar lantas dipindah ke sebuah rumah sakit di Mesir.

“Di rumah sakit di Kairo, saya berada dalam ruang perawatan intensif selama 20 hari, dalam keadaan tidak mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya. Selama berada di sana, mereka tidak memberitahu keadaan kedua putra saya, karena khawatir dengan keadaan jiwa saya,” katanya diliputi emosi.

“Setelah kembali dari Kairo, saya diberitahu mengenai kematian putra-putra saya, dan sejak itu saya banyak melewati malam tanpa tidur. Setiap malam bersama suami yang tidak bisa mendengar, saya memandangi foto mereka yang terletak di rak dalam kamar. Dan saya banyak membaca Al-Quran.”

“Andai saja saya tahu Bilal akan meninggalkan saya, andai saya tahu! Bilal biasanya meminta uang satu shekel (0,25 dollar) untuk sekolah. Tapi kadang saya tidak bisa memberikannya, karena keadaan keuangan kami yang buruk. Pada hari-hari di mana saya tidak mampu memberinya uang, saya selalu berjanji esok hari akan memberinya uang. Andai saya bisa memberinya seluruh uang shekel yang ada di dunia!” katanya penuh duka.

Madline–saudara perempuan Bilal dan Mohammad–bertanya, “Sekarang saya bisa bermain dengan siapa?”

Ia berdiri di pojok kamar saudara-saudaranya yang kini terbengkalai. “Saya biasa bermain dengan Bilal dan Mohammad di taman dan di kamar ini,” ujarnya.

Sepupu Madline yang berusia 15 tahun, Mahmoud, menceritakan bahwa keluarga mereka biasa pergi ke pantai bersama.

“Bilal dan Mohammad adalah sepupu saya, meskipun demikian mereka saya anggap seperti adik sendiri. Mereka sangat lucu, lincah dan kami senang pergi ke pantai. Sejak mereka terbunuh, saya tidak lagi pergi ke pantai. Keluarga kami sudah kehilangan semangat untuk bersenang-senang.”

Sambil mendekap foto Mohammad, Al-Ashqar berkata, “Setiap malam, saya memeluk foto-foto mereka dan menciumnya sebelum tidur. Seperti yang dulu biasa saya lakukan ketika mereka masih hidup.” (di/ie/hidayatullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar