Minggu, 14 Maret 2010

Jangan Lupakan Anak-anak Palestina

Sementara dunia masih dikejutkan dengan gempa yang baru-baru ini terjadi di Haiti dengan menelan korban lebih dari 100.000 orang tewas dan ribuan lainya mengalami luka-luka. Namun jalur Gaza yang sampai saat detik ini masih di blokade oleh Zionis Israel beserta sekutunya terus membawa anak-anak di Gaza kedalam jurang kelaparan setiap harinya, dengan catatan 1 dari 10 anak mengalami kekurangan gizi. Ini adalah sebuah bencana yang dibuat oleh manusia (Zionis Israel) yang dapat dikatakan tak berujung dan dapat mempengaruhi keadaan anak-anak pada saat ini dan masa yang akan datang. Ini adalah sebuah tragedi kemanusian yang dibuat oleh manusia, anak-anak merasa trauma akibat serangan Zionis Israel dan mereka merasa tidak ada tempat aman di Gaza. Rumah, sekolah, area bermain telah dihancurkan dan tidak ada tanda-tanda perbaikan yang dilakukan, hal ini disebabkan oleh blokade yang dilakukan oleh Zionis Israel beserta sekutunya dan juga Mesir yang merupakan tetangga terdekat dengan Gaza, melarang peralatan untuk membangun kembali sarana dan prasarana tersebut untuk dibangun kembali. Tingkat ketidakamanan sangat tinggi dan akan mempengaruhi perkembangan anak-anak di Gaza saat ini dan masa yang akan datang, untuk itu diperlukan sebuah kepedulian terhadap anak-anak di Gaza. (Viva Palestina Indonesia, 28 February, 2010 )

"Saya Memilih Islam, Meski Harus Melawan Budaya dan Keluarga"

Nama muslimnya Aysha. Muslimah ini berasal dari Hungaria Utara. Pertama kali mendengar tentang Islam ketika ia masih di sekolah menengah saat mata pelajaran sejarah. Sekedar informasi, Hungaria pernah berada dibawah pendudukan Turki selama 150 tahun. Selanjutnya, Aysha kuliah di universitas jurusan biologi molekular, di mana ia bertemu dengan banyak mahasiswa Muslim dari negara lain. Sejak lama Sebenarnya Aysha bertanya-tanya mengapa Muslim selalu bangga dengan kemuslimannya. Aysha sendiri, ketika itu penganut agama Kristen Katolik. Ia cukup taat dengan agamanya, tapi ia masih meragukan dan tidak setuju dengan beberapa bagian dari ajaran agamanya, misalnya; bagaimana bisa Tuhan memiliki anak laki-laki. Ia juga tidak bisa mempercayai konsep Trinitas dalam ajaran Katolik.

Aysha kemudian sering berdiskusi dengan teman-temannya. Suatu ketika ia dan teman-temannya sedang makan malam dan terdengar suara azan. Saalah seorang temannya meminta mereka diam sejenak, tapi Aysha menolak. Meski demikian, Aysha mengaku sangat terkesan temannya itu dan merasakan sesuatu telah menyentuh hatinya.

Pada suatu musim panas, Aysha mengunduh program Al-Quran dari internet. Ia tidak tahu mengapa dan untuk apa ia melakukan hal. Aysha lalu mendengarkan ayat-ayat suci Al-Quran dalam bahasa Arab dan membaca terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sejak itu, Aysha banyak berpikir tentang agama Islam dan ia mulai banyak membaca banyak buku tentang Islam.

Setelah dua bulan terus memikirkan agama Islam, Aysha memutuskan untuk masuk Islam. Saya mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh dua sahabat saya, "La ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah".

"Saya memilih Islam, meski harus melawan budaya dan keluarga, terutama ibu saya," kata Aysha.

Bulan Ramadan pun tiba. Aysha membulatkan tekadanya untuk memulai kehidupan barunya sebagai seorang Muslimah bersama bulan suci Ramadan. Dan ia bersyukur karena berhasil melalui bulan Ramadan dengan sukses. Hal yang paling sulit buat Aysha sebagai seorang mualaf adalah saat ia belajar salat, karena ia tinggal di lingkungan non-Muslim dan ia tidak bisa bertanya pada orang-orang di sekelilingnya.

"Saya belajar sendiri bagaimana cara salat dari Internet, karena tidak ada yang menunjukkan pada saya bagaimana melaksanakan salat , bagaimana cara berwudhu, atau apa doa yang diucapkan sebelum melakukan kegiatan itu serta bagaimana etika dan hukum Islam itu," tutur Aysha.

Aysha pernah punya seorang teman pria yang membuatnya patah semangat. Temannya itu mengatakan bahwa Aysha tidak akan pernah bisa memahami Islam, karena Aysha tidak dilahirkan sebagai seorang Muslim. Ketika Aysha mengatakan bahwa ia ingin berpuasa pada bulan Ramadan, temannya itu mengatakan bahwa puasa bulan Ramadan bukan hanya menahan lapar. Waktu itu Aysha baru satu bulan menjadi seorang muslim.

"Saat itu saya ketakutan, bagaimana jika saya tidak pernah belajar menunaikan salat dalam bahasa Arab? Bagaimana jika saya tidak melakukannya dengan cara yang benar? Dan saya tidak punya jilbab atau sajadah untuk salat. Tak yang membantu saya, sehingga saya begitu ketakutan," ungkap Aysha.

"Tapi ketika saya mulai salat, saya berpikir Allah pasti sedang tersenyum melihat saya sekarang. Karena saya menuliskan bacaan-bacaan salat di selembar kertas di atas kertas, beserta instruksinya. Saya memegang kertas itu di tangan kanan dan membacanya dengan keras. Kemudian sujud dan membacanya lagi dan begitu seterusnya. Saya yakin saya terlihat sangat lucu. Tapi kemudian saya berhasil menghafal bacaan-bacaan salat dalam bahasa Arab begitu," cerita Aysha.

Aysha lalu membuka akun di Facebook. Di situs jejaring sosial itu, Aysha mendapat banyak teman baru dan banyak saudara sesama muslimah. Dari sahabat-sahabatnya di internet, Aysha mendapatkan banyak perhatian dan dukungan. Seorang laki-laki muslim melamarnya, dari lelaki itu Aysha mendapatkan jilbab pertamanya, sajadah dan buku-buku Islam. Ia juga mendapatkan Al-Quran pertamanya dalam bahasa Arab yang dikirim dari Yordania karena ia sulit mendapatkan Al-Quran di Hungaria. Sekarang, sudah lebih dari setahun Aysha memakai jilbab.

Aysha mengalami periode yang sangat buruk dengan ibunya. Ibu Aysha selalu mengatakan bahwa Aysha akan menjadi teroris, bahwa Aysha akan meninggalkan ibunya seperti Aysha meninggalkan agama Katolik yang dianutnya dan bahwa Aysha juga akan meninggalkan Hungaria, negara kelahirannya.Ibu Aysha menaruh semua makanan yang mengandung daging babi di dalam lemari es dan tentu saja Aysha menolak untuk memakannya. Hal seperti itu kadang memicu pertengkaran besar antara Aysha dan ibunya.

"Ibu tidak senang melihat saya salat dan berjilbab. Saya selalu salat di dalam kamar agar ibu tidak melihat aku salat dan mengenakan jilbab. Ibu selalu berkata,'Aku melahirkan seorang anak Kristen, bukan seorang Muslim yang berjilbab'," kisah Aysha menirukan ucapan ibunya.

"Jadi, kami punya masalah serius, tapi saya tidak pernah kasar pada Ibu. Alhamdulilah, ibu sudah tenang sekarang dan tampaknya ia menerima keislaman saya. Saya benar-benar bersyukur kepada Allah untuk itu. Sekarang saya keluar rumah dengan berjilbab, dan ibu tidak mengatakan apa-apa," ungkap Aysha.

Hubungan Aysha dengan sang ayah, yang sejak lama dingin dan tidak saling bertegur sapa, juga membaik setelah Aysha memeluk Islam. Aysha mencoba membuka kembali komunikasi dengan ayahnya, dan kini ayah Aysha mulai mengunjunginya secara teratur.

"Ya, hidup saya adalah ujian besar tapi saya bersyukur pada Tuhan karena memiliki kesabaran dan harapan. Pada hari kiamat saya akan sangat bersyukur atas semua itu. Jadi aku berusaha untuk menjadi lebih baik dan lebih baik, dan belajar lebih banyak dan lebih banyak untuk memahami agama saya," ujar Aysha.

Ia melanjutkan, "Saya percaya semuanya sudah ditakdirkan, jadi apa pun yang Allah katakan akan terjadi kepada saya, tidak bisa berubah, tapi saya dapat memilih untuk menjalani hidup dengan baik."

"Saya sedang membantu sesama di Debrecen. Saya membuat proyek mengumpulkan pakaian bekas untuk kamp pengungsi.. Ada banyak Muslim di sana yang tidak punya rumah karena perang. Jadi kami mengumpulkan pakaian, kami pergi ke sana dan saya membuatkan roti Pakistan untuk anak-anak dan perempuan, mereka sangat bahagia dan sangat menyenangkan bisa bertemu mereka," papar Aysha.

Ia juga mencoba memberikan bimbingan pada para pengungsi yang ingin masuk Islam atau baru saja masuk Islam. Di kamp pengungsi Aysha bertemu dengan dua muslimah Hungaria yang baru masuk Islam. Pada mereka, Aysha memberikan buku-buku, sajadah dan Al-Quran. "Alhamdulillah. Kami salat bersama dan mereka benar-benar bahagia," kata Aysha haru.

Aysha menyatakan bahwa ia selalu berusaha memberikan kesan bahwa umat Islam adalah umat yang ramah dan memiliki hati yang penuh kasih sayang. Dulu, Aisyah akan bersuara keras jika ada seseorang melontarkan pernyataan yang membuatnya merasa terganggu. Tapi sekarang, Aysha selalu memberikan contoh yang baik sebagai seorang muslimah, kemanapun ia pergi. Aysha, meski baru masuk Islam satu setengah tahun yang lalu, kini sudah menunaikan salat lima waktu dengan rutin, banyak membaca buku Islam dan Al-Quran, berusaha mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah dan sekarang sedang belajar bahasa Arab. (ln/iol)

Cium Sayang yang Tinggal Kenangan

Diposting oleh Viva Palestina Indonesia, 1 March, 2010

Kenangan akan dua putranya kecilnya yang dibunuh Israel masih terekam kuat dalam ingatan seorang ibu

Nejoud Al-Ashqar adalah seorang ibu berusia 30 tahun. Ia tinggal di kota Beit Lahiya, sebelah utara wilayah Jalur Gaza. Dua orang putranya, Bilal, 5, dan Mohammad, 6, terbunuh dalam serangan Israel ke Jalur Gaza Januari tahun lalu. Tidak hanya itu, Al-Ashqar juga kehilangan lengan kanannya.

Dikelilingi oleh para tetangga, putra bungsu dan putrinya, ia mencoba mengenang peristiwa memilukan itu. “Saya ingat, pesawat-pesawat tempur Israel menyebarkan selebaran di daerah kami, memerintahkan para penduduk untuk pergi menjauh. Saya sangat khawatir akan anak-anak. Kami kemudian meninggalkan rumah menuju sekolah UNRWA (Badan PBB untuk pengungsi Palestina) untuk mengungsi,” cerita Al-Ashqar.

“Kami menginap di sekolah sepanjang malam awal bulan Januari, di tengah-tengah pemboman oleh Israel. Rasa takut yang amat sangat menyusup ke dalam hati kami. Saya hanya memikirkan bagaimana caranya melindungi anak-anak, karena banyak puing-puing tajam beterbangan di sekitar kami. Saya berusaha menutupi wajah mereka dengan selimut, takut kalau-kalau serpihan tajam melukai mereka.”

Sekolah UNWRA tempat keluarga Al-Ashqar berlindung, pagi esok harinya dibom Israel. “Saya mendengar orang-orang yang berada di dekat saya berteriak ‘Ambulan, ambulan!’ Saya lantas tersadar bahwa wajah saya berlumuran darah. Saya mulai berteriak memanggil nama anak-anak saya.”

Kepala dan lengan Al-Ashqar terluka parah akibat serangan yang dilakukan Israel. Ia segera dilarikan ke rumah sakit di Gaza. Namun karena kondisinya parah, Al-Ashqar lantas dipindah ke sebuah rumah sakit di Mesir.

“Di rumah sakit di Kairo, saya berada dalam ruang perawatan intensif selama 20 hari, dalam keadaan tidak mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya. Selama berada di sana, mereka tidak memberitahu keadaan kedua putra saya, karena khawatir dengan keadaan jiwa saya,” katanya diliputi emosi.

“Setelah kembali dari Kairo, saya diberitahu mengenai kematian putra-putra saya, dan sejak itu saya banyak melewati malam tanpa tidur. Setiap malam bersama suami yang tidak bisa mendengar, saya memandangi foto mereka yang terletak di rak dalam kamar. Dan saya banyak membaca Al-Quran.”

“Andai saja saya tahu Bilal akan meninggalkan saya, andai saya tahu! Bilal biasanya meminta uang satu shekel (0,25 dollar) untuk sekolah. Tapi kadang saya tidak bisa memberikannya, karena keadaan keuangan kami yang buruk. Pada hari-hari di mana saya tidak mampu memberinya uang, saya selalu berjanji esok hari akan memberinya uang. Andai saya bisa memberinya seluruh uang shekel yang ada di dunia!” katanya penuh duka.

Madline–saudara perempuan Bilal dan Mohammad–bertanya, “Sekarang saya bisa bermain dengan siapa?”

Ia berdiri di pojok kamar saudara-saudaranya yang kini terbengkalai. “Saya biasa bermain dengan Bilal dan Mohammad di taman dan di kamar ini,” ujarnya.

Sepupu Madline yang berusia 15 tahun, Mahmoud, menceritakan bahwa keluarga mereka biasa pergi ke pantai bersama.

“Bilal dan Mohammad adalah sepupu saya, meskipun demikian mereka saya anggap seperti adik sendiri. Mereka sangat lucu, lincah dan kami senang pergi ke pantai. Sejak mereka terbunuh, saya tidak lagi pergi ke pantai. Keluarga kami sudah kehilangan semangat untuk bersenang-senang.”

Sambil mendekap foto Mohammad, Al-Ashqar berkata, “Setiap malam, saya memeluk foto-foto mereka dan menciumnya sebelum tidur. Seperti yang dulu biasa saya lakukan ketika mereka masih hidup.” (di/ie/hidayatullah)